Daftar Isi
TogglePergerakan harga minyak WTI sepanjang tahun 2024 dalam tren penurunan. Saat artikel ini ditulis harga minyak WTI berada dibawah US$ 70 per barel, jika kita lihat pergerakannya cukup volatile, hal ini disebabkan oleh meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, diimbangi dengan perekonomian China yang masih lemah, dan ditambah dengan tingkat produksi minyak mentah Amerika Serikat yang meningkat.
Pelemahan minyak sepanjang tahun 2024 ini juga berlaku untuk minyak brent.
Dengan kondisi harga minyak yang masih lemah sepanjang tahun ini, bagaimana prospeknya ke depan nanti terutama ditengah memanasnya konflik geopolitik yang terjadi di Timur Tengah saat ini?
Minyak WTI (West Texas Intermediate) menjadi harga patokan utama untuk minyak di Amerika Serikat. Patokan harga ini digunakan di pasar domestik AS untuk menentukan harga minyak mentah dan turunannya. WTI diperdagangkan di New York Mercantile Exchange (NYMX), salah satu pasar komoditas terbesar di dunia yang berlokasi di Amerika Serikat. WTI memiliki API (American Petroleum Institute) sebesar 39,6 yang berarti minyak ini sedikit lebih ringan daripada Brent (38,06). Minyak dengan API lebih tinggi dianggap lebih ringan, lebih mudah diolah, dan menghasilkan proporsi produk berkualitas tinggi, seperti bensin dan diesel. Karena WTI dihasilkan di daratan, transportasinya lebih rumit dibandingkan dengan Brent, yang bisa langsung diangkut lewat jalur laut.
Sedangkan minyak brent merupakan harga patokan minyak yang digunakan di sebagian besar wilayah dunia, seperti negara yang tergabung dalam OPEC+, Eropa, Afrika, Timur Tengah. Brent diperdagangkan di Intercontinental Exchange (ICE) berbasis London, yang menjadi platform perdagangan utama minyak Brent. Brent memiliki ukuran sedikit lebih padat dengan API sebesar 38,06 dalam kepadatan minyak mentah dibandingkan dengan air. Minyak dengan API sekitar 38-40 dianggap mempunyai kepadatan sedang, ini cukup mudah diproses oleh kilang untuk dijadikan sebagai bahan bakar seperti bensin dan diesel. Brent dihasilkan dari ladang minyak lepas pantai di Laut Utara, sehingga lebih mudah diangkut lewat jalur laut.
Berdasarkan International Energy Agency (IEA) permintaan minyak diprediksi akan ada kenaikan hingga tahun 2030, namun kenaikannya cukup lambat sebesar 0,4% saja secara annual growth rate. Pada tahun 2023, total permintaan minyak dunia mencapai 102,2 juta barel per hari (mb/d). Kemudian di proyeksi hingga tahun 2030 akan terus mencatatkan kenaikan tiap tahunnya, sampai akhirnya mencapai 105,4 mb/d.
Kondisi melambatnya pertumbuhan permintaan minyak tersebut disebabkan oleh beberapa hal, seperti permintaan minyak di negara maju yang akan menurun. Kemudian meningkatnya pasokan minyak dunia yang dipimpin produsen non-OPEC+, dimana diperkirakan akan melampaui perkiraan permintaan mulai tahun 2025.
Perlambatan permintaan minyak juga terdorong oleh meningkatnya penjualan mobil listrik global yang terus naik, mendorong perlambatan permintaan bahan bakar minyak. IEA memproyeksi penjualan kendaraan listrik bisa mencapai sekitar 17 juta di tahun 2024 ini, meningkat dari 14 juta pada tahun 2023 dengan kendaraan listrik menyumbang hampir satu dari lima mobil yang terjual secara global. Kenaikan ini akan terus terjadi, dengan total penjualan yang diproyeksi akan mencapai 40 juta di tahun 2030 nanti, hampir satu dari dua mobil baru akan menjadi kendaraan listrik.
Meningkatnya efisiensi penggunaan bahan bakar minyak juga menjadi pendorong perlambatan. Kenaikan efisiensi diharapkan bisa mengurangi pertumbuhan permintaan minyak sebesar 4,7 mb/d dari tahun 2023 – 2030, dengan mayoritas penghematan pada bahan bakar jalan raya di negara-negara maju.
Saat ini permintaan minyak terbesar berasal dari Amerika Serikat. Pada tahun 2023 permintaan minyak di Amerika Serikat mencapai 20,25 mb/d yang setelahnya di proyeksi mulai menurun pada tahun 2026 hingga 2030 dimana diproyeksi akan menurun mencapai 18,91 mb/d. Kondisi ini tentu akan membuat harga minyak berpotensi melemah saat pasokan minyak terus meningkat. Gasoline atau bensin akan menjadi penyebab utama penurunan permintaan di AS, karena banyaknya pekerja yang bekerja dari rumah (WFH), efisiensi kendaraan, dan peningkatan kendaraan listrik.
Kemudian untuk China yang menjadi konsumen minyak terbesar kedua dunia diproyeksi akan terus mengalami pertumbuhan permintaan hingga tahun 2030, dengan pertumbuhan sebesar 1,2%. Permintaan minyak untuk bahan baku petrokimia akan menjadi kenaikan jumlah minyak tertinggi dengan kenaikan 0,7 mb/d dengan persentase pertumbuhan sebesar 3,9%. Hal tersebut karena adanya gelombang pembangunan pabrik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kemudian ada juga LPG/Ethane yang juga bertambah 0,7 mb/d. Serta untuk persentase pertumbuhan terbesar berasal dari Jet/Kerosene atau industri penerbangan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena industri penerbangan belum terdampak dengan adanya energi terbarukan.
Kemudian Arab Saudi yang saat ini menjadi konsumen minyak terbesar di dunia untuk pembangkit listrik telah menyampaikan rencana mengakhiri ketergantungan minyak pada tahun 2030, dengan mengutamakan penggunaan gas alam dan energi terbarukan. Arab Saudi juga telah menunda peningkatan kapasitas minyak mentah, dan akan fokus pada perluasan gas alam cair dan kondensat. Hal ini memperlihatkan bahwa Arab Saudi mengetahui adanya surplus yang meningkat pesat dalam kapasitas produksi minyak mentah global.
Produksi minyak dunia oleh Amerika Serikat dan produsen lain di Amerika diperkirakan akan melampaui pertumbuhan permintaan pada periode 2023 – 2030, yang akan meningkatkan cadangan kapasitas dunia. Total kapasitas pasokan meningkat sebesar 6 mb/d menjadi 113,8 mb/d pada tahun 2030.
Peningkatan ini sebagian besar didorong oleh produsen non-OPEC+, seperti Amerika Serikat, Brasil, Guyana, dan Kanada. Dimana AmerikaSerikat menjadi kontributor utama dengan tambahan kapasitas sebesar 2,1 mb/d. Meskipun demikian, permintaan global diproyeksikan hanya akan mencapai 105,4 mb/d, menciptakan surplus sekitar 8 mb/d. Surplus ini dapat mempengaruhi strategi OPEC+ yang terus berusaha menjaga harga minyak global tetap stabil.
Negara yang masuk OPEC+ seperti Arab Saudi, UEA, dan Irak diperkirakan menambah kapasitas produksi sekitar 1,4 mb/d. Apalagi negara Iran yang menjadi salah satu anggota OPEC sedang dalam konflik geopolitik dan perang, sehingga untuk memenuhi biaya perang maka mereka akan menaikkan produksi untuk menambah pendapatan.
Namun disisi lain, Arab Saudi yang sebelumnya berencana meningkatkan kapasitas minyak mentahnya, saat ini juga fokus meningkatkan pasokan NGLs (Natural Gas Liquids) dan kondensat secara signifikan. Ini juga berpotensi menekan harga minyak secara global.
Kondisi geopolitik di Timur Tengah saat ini masihpanas, namun jika kita lihat pada peta dibawah ini, ternyata masih banyak kapal tanker yang melewati laut merah, hal ini menandakan bahwa pengangkutan minyak disana masih berjalan.
Jika kita melihat kondisi saat ini ketika ada ketegangan cukup tinggi di Timur Tengah, (meskipun terjadi volatilitas harga minyak) tapi efeknya tidak terlalu besar untuk pergerakan harganya akhir-akhir ini, dimana harganya naik – turun sekitar US$ 5 per barel.
Dengan beberapa kondisi tersebut dimana pertumbuhan permintaan minyak yang melambat, kemudian kapasitas produksi yang terus bertambah (naiknya produksi minyak dari negara non-OPEC+) diprediksi akan membuat harga minyak cukup tertekan hingga tahun 2030 nanti.
Pada tahun 2025 harga minyak brent diproyeksikan akan diperdagangkan pada level 79 US$ per barel, dan akan menurun pada tahun 2030 menjadi 69 US$ per barel. Proyeksi ini disampaikan oleh International Energy Agency (IEA).
Kemudian dari tradingeconomics memproyeksikan bahwa harga minyak WTI akan diperdagangkan pada level US$ 73,82 per barel dalam 12 bulan ke depan, sedangkan minyak brent di level US$ 77,12 per barel.
Tidak hanya itu, proyeksi dari JP Morgan juga mengatakan hal yang serupa dimana harga minyak Brent sampai akhir tahun 2024 diprediksi akan berada di level US$ 83 per barel, kemudian pada tahun 2025-nya turun ke level US$ 75 per barel. Ini juga berlaku untuk minyak WTI, yang diproyeksi akan turun ditahun 2025 nanti menjadi US$ 71 per barel.
Namun, cerita bisa saja berubah ketika perang di timur tengah tidak kunjung reda dan menghantam sumber kilang minyak dari negara – negara produsen minyak seperti OPEC+ maupun negara lainnya (Iran salah satu top 5 penghasil minyak terbesar di dunia yang saat ini masih dalam kondisi perang), yang membuat terganggunya suply minyak mentah.
Jika Anda tertarik untuk belajar lebih lanjut tentang investasi dan analisis saham, bergabunglah dengan program Value Investing Mastery. Klik gambar di bawah ini untuk mendaftar dan memulai perjalanan investasi Anda.
© 2024. All rights reserved