Daftar Isi
ToggleSebelum ke pembahasannya jangan lupa download gratis ebook 5 saham undervalue yang sudah kami analisa dengan klik gambar dibawah ini. Sudah banyak orang mendapatkan manfaat dari ebook ini dan sudah terbukti banyak orang mendapatkan keuntungan return investasi dari membaca ebook ini GRATIS.
Berita tentang resesi di Jepang dan Inggris belakangan ini telah menarik perhatian investor domestik, termasuk Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Banyak yang bertanya-tanya tentang potensi dampaknya terhadap ekonomi Indonesia dan saham perusahaan yang beroperasi di negara ini. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi penyebab resesi tersebut dan dampaknya terhadap Indonesia.
Berita resesi Jepang dan Inggris belakangan ini menjadi perhatian khusus para investor dalam negeri, bahkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga was-was dengan hal ini. Banyak yang bertanya-tanya apakah ada dampak terhadap perekonomian maupun saham perusahaan yang ada di Indonesia. Pada artikel kali ini kami akan membahas penyebab terjadinya resesi tersebut, dan dampaknya seperti apa ke Indonesia.
Resesi terjadi ketika suatu negara mencatat GDP yang minus dalam dua kuartal berturut-turut, namun kita perlu memperhatikan indeks ekonomi yang lain juga, disini kami mengambil beberapa indeks ekonomi seperti GDP, Indeks Manufaktur, Neraca Perdagangan, Inflasi, Suku Bunga, dan lain sebagainya yang memiliki hubungan dengan terjadinya resesi di kedua negara ini. Karena beberapa indeks tersebut memperlihatkan baik atau buruknya kondisi ekonomi di suatu negara.
GDP Jepang mengalami minus dua kuartal berturut-turut. Kalau kita lihat di kuartal ketiga tahun 2023, GDP Jepang tercatat -0,8% yang menandakan turunnya perekonomian di Negara ini, kemudian di kuartal keempat tahun 2023 GDP masih mencatat -0,1%. Memperlihatkan kondisi ekonomi kurang baik di Jepang.
Tidak hanya GDP yang minus, neraca perdagangan Jepang juga mencatatkan defisit sebesar 1.758,3 miliar yen. Secara bulanan ekspor Jepang turun cukup besar sekitar 23,9% menjadi 7.332,6 miliar yen, dan impor turun 5% menjadi 9.090,9 miliar yen. Dan sebenarnya ekspor Jepang naik 11,9% secara yoy, karena menguatnya permintaan barang dari Amerika Serikat dan China. Sedangkan impornya menurun 9,6% yang disebabkan karena harga energi yang rendah.
Jika Jepang kebanyakan melakukan impor, maka akan terjadi pelemahan terhadap mata uangnya, dan saat ini mata uang yen terus melemah jika dibandingkan dengan mata uang USD. Tidak hanya itu, yen dibawah tekanan besar tahun ini karena Bank of Japan (BOJ) yang melakukan penerapan kebijakan moneter sangat longgar ketika bank sentral besar negara lain masih menahan suku bunga di level yang masih cukup tinggi. Saat ini 1 USD itu sekitar 150,8 yen
Indeks Manufaktur PMI Jepang saat ini juga dalam kondisi kontraksi, dimana berada di level 47,2 poin. Indeks Manufaktur PMI (Purchasing Managers’ Index) adalah indikator untuk mengukur kesehatan pada sektor manufaktur di suatu negara. Ketika indeks PMI diatas 50 poin menunjukkan aktivitas manufaktur sedang berekspansi dan bertumbuh, kemudian jika di bawah 50 poin sedang kontraksi, dan ketika di level 50 poin itu tidak ada perubahan signifikan.
Kemudian untuk Inflasi di Jepang, saat ini berada di level yang cukup baik yaitu 2,2%. Setelah sebelumnya berada di level 4,3%. Meskipun sempat naik ke level 4,3% tersebut, suku bunga Jepang tetap di tahan di level -0,1%. Apa alasannya suku bunga yang minus tersebut? (Padahal yang kita sering jumpai suku bunga suatu negara itu positif, seperti di Indonesia yang saat ini di level 6%, dan Amerika Serikat 5,5%).
Suku bunga Jepang yang -0,1% tersebut sudah diberlakukan sejak tahun 2016. Dimana suku bunga acuan yang -0,1% dilakukan untuk mendorong perbankan bisa memberikan pinjaman lebih banyak, sehingga perusahaan dan konsumen akan melakukan pinjaman yang lebih besar, dan ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bank sentral juga melakukan pembelian obligasi pemerintah dan aset lainnya, ini dilakukan untuk memberikan dana yang lebih agar pertumbuhan ekonomi meningkat yang beriringan dengan menurunnya populasi di Jepang.
Bicara tentang populasi jepang yang menyusut, kalau kita lihat memang ada penurunan populasi sekitar tahun 2011-an sampai saat ini. Dengan tingkat pertumbuhan yang juga terus menurun sejak tahun 1975-an.
Dengan kondisi perekonomian Jepang tersebut, memperlihatkan kepada kita bahwa memang ekonomi Jepang sedang tidak baik-baik saja saat ini. Menurut dubes Jepang penyebab kenapa Jepang mengalami resesi adalah karena Jepang telah mengalami tekanan deflasi berkepanjangan. Kemudian terkait upah yang tidak meningkat juga menjadi permasalahan lainnya. Sehingga Jepang akan meningkatkan kerja sama dengan negara mitra dagang salah satunya Indonesia untuk meningkatkan kembali perekonomian Jepang.
Dibawah ini merupakan data inflasi Jepang dalam 25 tahun kebelakang, dimana Jepang sering mengalami deflasi. Ketika suatu negara mengalami deflasi berkepanjangan, maka bisa berdampak terhadap stabilitas perekonomian di negara tersebut. Misalnya Deflasi membuat masyarakat berekspektasi bahwa harga akan terus turun di masa depan, yang mendorong masyarakat dan perusahaan menunda pembelian dan investasi, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kemudian deflasi juga bisa membuat stagnasi atau penurunan gaji akibat perusahaan berusaha memotong biaya untuk menyesuaikan diri dengan harga yang turun. Ini dapat mengurangi daya beli konsumen, menyebabkan penurunan permintaan lebih lanjut dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Terkait upah yang rendah, jika kita lihat dalam 10 tahun kebelakang, rata-rata pertumbuhan upah Jepang hanya naik sekitar 0,5% saja.
Pasar saham Jepang atau indeks Nikkei justru mencetak level tertingginya ketika Negara Sakura ini mengalami resesi. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar di pasar saham, ketika ekonomi suatu negara sedang menurun, tapi pasar sahamnya bisa mencetak level tertingginya. Indeks Nikkei 225 Stock Average Jepang, adalah indeks saham Jepang terkemuka, indeks ini berisi 225 perusahaan blue-chip teratas yang ada di Jepang dan diperdagangkan pada Bursa Efek Tokyo. Indeks Nikkei ini setara Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) yang ada di Amerika Serikat.
Penyebab indeks Nikkei yang menyentuh level tertingginya adalah karena adanya reformasi tata kelola perusahaan yang dilakukan Bursa Efek Tokyo, reformasi ini membuat perusahaan-perusahaan Jepang berusaha dalam meningkatkan keuntungan bagi para pemegang saham lewat aksi buyback (pembelian saham kembali) dan membagikan dividen dengan lebih besar. Data dibawah ini kami peroleh dari beberapa sumber berita yang menyebutkan bahwa perusahaan ini akan melakukan buyback, sedangkan untuk dividen dari 5 saham dengan market cap terbesar di Jepang, 3 diantaranya ada kenaikan dividen per saham. Dan kelimanya tetap membagikan dividen.
Kemudian faktor lainnya, Perdana Menteri Fumio Kishida menyampaikan bahwa Tokyo berusaha dalam peningkatan peralihan dari menabung ke investasi, dengan memperbarui program Nippon Individual Savings Account (NISA) atau rekening tabungan perorangan Nippon, dimana batas investasi tahunan akan lebih tinggi dari sebelumnya, kemudian waktu pembebasan pajak juga menjadi selamanya. Jadi ketika menggunakan NISA untuk berinvestasi, maka akan terhindar dari pajak dengan batasan investasi yang lebih tinggi, ini dimulai pada 1 Januari 2024. Program ini diharapkan bisa meningkatkan tingkat investasi masyarakat, dan dananya di salurkan ke aset yang memberikan keuntungan daripada hanya ditabung. Jadi dengan adanya NISA baru ini membuat banyak warga Jepang membeli saham yang membuat indeks Nikkei kena dampak positifnya.
Oke kita sudah mengetahui penyebab kenapa Jepang bisa mengalami resesi, selanjutnya kita akan bahas resesi yang terjadi di Inggris.
Dua kuartal berturut-turut PDB Inggris juga mencatatkan minus, dari yang sebelumnya tercatat -0,1% saat ini menjadi -0,3%. Kalau kita lihat pertumbuhan GDP di Inggris juga selalu dibawah 2% sejak kuartal ketiga tahun 2021. Jadi di Inggris juga memperlihatkan ekonomi yang tidak bagus.
Neraca perdagangan yang dimiliki Inggris bahkan selalu mencatatkan defisit, yang dimana ini harus menjadi perhatian khusus untuk negara ini. Saat ini neraca perdagangannya defisit 2.603 juta poundsterling. Ekspor secara bulanan turun 2% menjadi 68.756 juta poundsterling, sedangkan impornya turun 3,4% menjadi 71.359 juta poundsterling.
Indeks PMI Manufaktur Inggris juga masih dalam masa kontraksi, yang berada di level 47,1 poin. Sebenarnya ada peningkatan dari sebelumnya berada di level 47 poin.
Untuk angka inflasi dan suku bunganya, saat ini masih terbilang cukup tinggi untuk negara ini, dimana saat ini angka inflasi berada di level 4% meskipun sudah turun dari level 11,1% di tahun 2022 kemarin. Secara jangka panjangnya atau dalam 25 tahun terakhir rata-rata inflasi dikisaran 2,5%. Dengan angka inflasi saat ini di level 4% tersebut, membuat suku bunga Inggris berada di level 5,25% untuk menurunkan angka inflasi tersebut.
Berbeda dengan indeks Nikkei, untuk Indeks FTSE 100 di tahun 2024 ini mengalami penurunan 1,1%. FTSE 100 adalah indeks yang mengukur kinerja 100 perusahaan terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar, yang terdaftar di Bursa Efek London.
Meskipun saat in belum ada pengumuman resmi dari pemerintah Inggris terkait resesi yang terjadi, Inggris sudah bisa kita katakan mengalami resesi, karena PDB yang dalam dua kuartal terakhir tumbuh negatif.
Dengan inflasi dan suku bunga yang tinggi, membuat perekonomian di Inggris mengalami penurunan, dimana ini dapat menurunkan daya beli masyarakat. Dan ketika daya beli melemah, maka perusahaan akan terkena dampaknya dimana penjualan bisa menurun, dan pada akhirnya perekonomian bisa turun yang tercermin pada PDB Inggris saat ini. Tingginya inflasi ini karena dampak dari pandemi, kemudian dilanjut dengan naiknya harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina. Indeks ekonomi lainnya tadi juga berada dalam kondisi yang tidak bagus.
Dengan Inggris yang telah masuk resesi, bisa menjadi pendorong Bank of England (BOE) atau Bank Sentral Inggris untuk menurunkan suku bunganya. Banyak pengusaha di Inggris juga meminta kepada pemerintah untuk memberi bantuan agar daya saing bisnis pengusaha bisa segera membaik. Hal ini dilakukan supaya perekonomian di Inggris kembali tumbuh positif.
Total perdagangan Indonesia sendiri tahun 2023 kemarin mengalami penurunan sebesar 9,19% menjadi US$ 480,6 miliar dari sebelumnya tahun 2022 sebesar US$ 529,3 miliar.
Total perdagangan antara Indonesia dan Jepang adalah sebesar US$ 37,3 miliar atau berkontribusi sebesar 7,7% dari total perdagangan Indonesia tahun 2023 kemarin. Dan angka ini mengalami penurunan sebesar 11,2% secara yoy. Dimana tingkat ekspor Indonesia ke Jepang juga menurun 16,3%.
Sedangkan untuk perdagangan antara Indonesia dan Inggris, hanya berkontribusi sebesar 0,5% saja terhadap keseluruhan perdagangan Indonesia tahun 2023. Dan angka ini turun 0,31% di tahun 2023 kemarin secara yoy. Dimana angka ekspor mengalami penurunan sebesar 8,26%, sedangkan impornya naik 12,3%.
Beberapa perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia yang melakukan penjualan ekspor ke Jepang ada yang mencatatkan kenaikan maupun penurunan kinerja di tahun 2023 kemarin, seperti saham PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (IFII), dan PT Chitose International Tbk (CINT).
Untuk saham IFII bergerak di bisnis olahan kayu dan Medium Density Fibreboard (MDF) atau olahan kayu berupa papan, dimana ada penurunan penjualan ekspor ke Jepang sebesar 35%. Kemudian saham CINT bergerak di bisnis furniture, ada kenaikan ekspor ke Jepang sebesar 10%. Jadi masih ada yang mencatatkan kenaikan ekspor.
Sedangkan untuk Inggris, ada saham PT Trisula International Tbk (TRIS) yang melakukan ekspor ke Inggris, namun kontribusi ekspor ke Inggris hanya sekitar 7% saja jika dibandingkan dengan keseluruhan ekspor di tahun 2022 kemarin. Dan secara keseluruhan di laporan keuangan kuartal ketiga tahun 2023 ekspor perusahaan juga turun 6% secara yoy.
Berdasarkan data-data tersebut memperlihatkan bahwa memang kondisi perekonomian di Jepang dan Inggris sedang berada di kondisi yang tidak bagus. Penurunan ekspor Indonesia tahun 2023 kemarin bukan hanya karena Jepang ataupun Inggris, namun juga dari ekspor ke China, India, Amerika Serikat, dan lain sebagainya yang mengalami penurunan. Hal ini karena belum membaiknya perekonomian secara global, di mana inflasi dan suku bunga yang masih tinggi di tahun 2023 kemarin, kemudian juga adanya konflik di Timur Tengah.
Untuk hubungan dagang Indonesia dengan Jepang sebenarnya tidak terlalu besar karena penurunan juga tidak signifikan, namun akan ada dampaknya, dan saat ini aktivitas perdagangan Indonesia dengan Jepang juga masih tetap berjalan, apalagi Jepang juga akan berupaya dalam meningkatkan perdagangannya, ini menjadi stimulus positif.
Kemudian dengan hubungan perdagangan Indonesia dengan Inggris yang hanya 0,5% saja, seharusnya dampaknya sangat-sangat kecil terhadap ekonomi Indonesia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kedua negara ini bisa memberikan dampak terhadap perekonomian ke Indonesia meskipun tidak terlalu besar, dan Pemerintah Indonesia tentunya juga perlu dalam meningkatkan ekspor ke negara lainnya juga, agar dampak resesi dari dua negara ini tidak terlalu besar efeknya ke perekonomian Indonesia, sehingga neraca perdagangan Indonesia kedepannya bisa terus surplus.
Tahun 2023 kemarin neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus sebesar 36,9 miliar usd. Mengenai indeks harga saham gabungan (IHSG) Indonesia sendiri menurut kami juga tidak terdampak, karena efek resesi kedua negara tersebut yang tidak terlalu besar. IHSG sendiri di tahun 2023 kemarin berhasil naik 6,16% dan sepanjang tahun 2024 ini naik 0,59%.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang investasi saham yang bertumbuh dan memaksimalkan investasi Anda, bergabunglah dengan program Value Investing Mastery kami dengan mengklik gambar di bawah ini.