Daftar Isi
ToggleCBRE merupakan salah satu saham yang saat ini cukup hype, tentu saja karena kenaikan harga saham yang dramatis, naik sekitar 200% hanya dalam 1 bulan (bahkan cenderung ARA tiap hari). Lalu bagaimana sebenarnya peristiwa dibalik kenaikan harga sahamnya saat ini?
Setelah mencatatkan harga tertingginya di level Rp242 pasca penawaran umum perdana (IPO), saham CBRE mengalami tekanan jual yang cukup dalam sampai menyentuh level 50. Pada tahun 2024 saat diberlakukan kebijakan FCA, harga saham CBRE kembali turun sampai level 25 (jatuh 70% dari level puncaknya). Namun tiba – tiba memasuki bulan Mei 2025 harga saham CBRE mendadak “bangun dari tidur panjangnya” dimana kenaikannya sangat dramatis dalam waktu 1 bulan naik sampai 200%. Hal ini tak lepas dari rencana Right Issue dengan nominal yang sangat fantastis yang akan dilakukan perusahaan. Lalu perusahaan apakah CBRE itu?
PT Cakra Buana Resources Energi Tbk (CBRE) adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa angkutan moda laut, baik dalam negeri maupun luar negeri. Berdiri sejak Juni 2016 di Jakarta. Layanan CBRE mencakup pengangkutan barang-barang khusus seperti hasil tambang, alat berat, barang konstruksi, hasil pertanian, dan kebutuhan industri lainnya.
Armada kapal CBRE melayani berbagai wilayah strategis di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Bali, hingga Nusa Tenggara. Dengan kapal tunda (tugboats) dan tongkang (barge) sebagai armada utama, perusahaan menjalankan berbagai kontrak angkutan laut, mulai dari Time Charter, Freight Charter, hingga pengelolaan armada (Ship Management).
Mayoritas saham PT Cakra Buana Resources Energi Tbk (CBRE) dikuasai oleh PT Omudas Investment Holdco dengan kepemilikan sebesar 61,13%. Menariknya, Omudas memiliki keterkaitan erat dengan tokoh politik dan bisnis nasional, Happy Hapsoro, suami dari Puan Maharani.
Keterkaitan ini muncul melalui sosok Suganto Gunawan, pemegang 51% saham Omudas, yang memiliki irisan hubungan bisnis dengan Happy Hapsoro dalam emiten perhotelan PT Red Planet Indonesia Tbk (PSKT). Dalam struktur manajemen CBRE, Suganto menjabat sebagai Komisaris Utama, dengan Suwito dan Rivolinggo Pamudji masing-masing sebagai Komisaris dan Komisaris Independen.
Hubungan antara dewan komisaris CBRE dan Happy Hapsoro semakin jelas melalui PSKT. Dimana emiten ini dikendalikan oleh PT Basis Utama Prima, dengan 40% sahamnya dimiliki langsung oleh Happy Hapsoro dan 30% oleh Arsjad Rasjid, Bos INDY. Adapun Suwito tercatat sebagai Direktur Utama PSKT, sementara Rivolinggo menjabat sebagai Direktur. Rangkaian koneksi ini mengindikasikan adanya jaringan bisnis yang saling terhubung antara CBRE dan PSKT.
CBRE mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang cukup tinggi sepanjang tahun 2023. Pendapatan perusahaan meningkat 30%, dari Rp 32,9 miliar pada 2022 menjadi Rp 42,7 miliar. Kinerja ini masih ditopang oleh segmen time charter yang menjadi kontributor utama pendapatan.
Kenaikan pendapatan tersebut tidak sepenuhnya tercermin pada keuntungan perusahaan. Laba kotor hanya naik tipis sebesar 2% akibat kenaikan signifikan pada beban pokok pendapatan, dari Rp 18,07 miliar menjadi Rp 27,6 miliar. Dampaknya cukup terasa pada laba bersih, yang merosot tajam sebesar 88% dari Rp 7,4 miliar menjadi hanya Rp 904 juta.
Di balik pertumbuhan pendapatan CBRE yang mencapai 30% pada tahun 2023, sejumlah catatan penting muncul terkait lonjakan beban pokok pendapatan yang menggerus laba bersih perusahaan. Salah satu poin utama adalah peningkatan signifikan pada beban sewa kapal, dari Rp 6,8 miliar menjadi Rp 11,1 miliar. Namun, perusahaan tidak memberikan penjelasan detail mengenai jenis kapal yang disewa, berapa jumlahnya, maupun acuan harga sewanya, sehingga menimbulkan tanda tanya dari sisi transparansi laporan keuangan.
Selain itu, beban penyusutan juga mengalami kenaikan cukup besar, dari Rp 6,6 miliar menjadi Rp 9,1 miliar. Sayangnya, tidak ada keterangan lebih lanjut terkait aset apa saja yang menyumbang angka penyusutan tersebut. Hal serupa juga terjadi pada beban penyusutan atas aset hak guna, yang melonjak dari Rp 1,6 miliar menjadi Rp 4,03 miliar tanpa rincian lebih lanjut dari manajemen.
Penyusutan aset hak guna ada dua, yaitu penyusutan aset hak guna bangunan kantor dimana sewa kantor perusahaan yang berlokasi di Gedung Sahid Sudirman Center dan juga Aset hak guna kapal yang merupakan sewa kapal kepada PT Mandala Armada Nusantara selama 5 tahun.
Dengan naiknya beban sewa kapal dan juga beban penyusutan tersebut membuat beban pokok pendapatan naik cukup tinggi dari sebelumnya Rp 18,07 miliar menjadi Rp 27,6 miliar.
Beban umum dan administrasi CBRE juga mengalami kenaikan signifikan sepanjang 2023. Total beban naik dari Rp 5,3 miliar menjadi Rp 12,6 miliar, terutama dipicu oleh peningkatan beban gaji dan tunjangan yang naik signifikan dari Rp 3,1 miliar menjadi Rp 8,4 miliar.
Tidak hanya itu, beban penyusutan atas aset hak guna dalam pos administrasi juga turut meningkat dari Rp 518 juta menjadi Rp 1,2 miliar.
CBRE membukukan pertumbuhan pendapatan pada 2024, naik 46% dari Rp 42,7 miliar menjadi Rp 62,1 miliar. Peningkatan ini didorong oleh lonjakan pendapatan segmen time charter yang hampir dua kali lipat, dari Rp 22,5 miliar menjadi Rp 44,3 miliar.
Namun di balik pertumbuhan pendapatan tersebut, laba kotor perusahaan turun drastis sebesar 60%, dari Rp 15,1 miliar menjadi Rp 6,05 miliar, akibat naiknya beban pokok pendapatan menjadi Rp 56,1 miliar. Selain itu perusahaan mencatat rugi bersih sebesar Rp 51,6 miliar, atau merosot hingga 5.815% dibandingkan tahun sebelumnya
Di tengah peningkatan pendapatan CBRE pada 2024, rincian beban pokok pendapatan justru menimbulkan sejumlah pertanyaan. Salah satunya adalah lonjakan beban penyusutan dari Rp 9,1 miliar menjadi Rp 16,6 miliar, tanpa penjelasan rinci mengenai aset yang disusutkan.
Selain itu, beban bahan bakar naik signifikan dari Rp 333 juta menjadi Rp 8,1 miliar. Padahal, dalam skema time charter sebagai penyumbang pendapatan terbesar, biaya bahan bakar seharusnya ditanggung oleh pihak penyewa kapal. Selain itu, beban operasional kapal juga meningkat signifikan dari Rp 554 juta menjadi Rp 8,6 miliar.
Dari data annual report tahun buku 2024 dikatakan bahwa pada bisnis time charter bahan bakar ditanggung oleh klien/penyewa.
Sementara itu beban gaji dan tunjangan melonjak dari Rp 8,4 miliar menjadi Rp 14,9 miliar, beban penyusutan aset tetap juga naik dari Rp 556 juta menjadi Rp 4,1 miliar. Terdapat pos baru berupa beban perbaikan dan pemeliharaan mencapai Rp 9,1 miliar.
CBRE mencatatkan pertumbuhan pendapatan positif pada kuartal I 2025, naik 44% dari Rp 15,09 miliar menjadi Rp 21,6 miliar. Laba kotor juga ikut tumbuh 12%, dari Rp 7,8 miliar menjadi Rp 8,7 miliar, mencerminkan perbaikan dari sisi margin operasional.
Namun demikian, laba bersih perusahaan justru turun 31%, dari Rp 1,9 miliar menjadi Rp 1,3 miliar.
Pada Q1 2025 ini, beban pokok pendapatan perusahaan naik dari Rp 7,2 miliar menjadi Rp 12,9 miliar. Kenaikan ini terjadi karena adanya kenaikan beban penyusutan dari Rp 4,2 miliar menjadi Rp 5,1 miliar, sementara itu ada beban dari bahan bakar sebesar Rp 1 miliar dan juga kenaikan pada beban operasional kapal dari sebelumnya Rp 74 juta naik menjadi Rp 2,6 miliar.
Sejak 2019, CBRE konsisten mencatat pertumbuhan pendapatan tahunan, dan pada 2024 berhasil membukukan rekor tertinggi sebesar Rp 62,1 miliar. Kinerja ini mencerminkan potensi bisnis yang terus berkembang.
Namun, pencapaian tersebut tidak diikuti oleh perbaikan kinerja bottom line. Di tahun yang sama, CBRE justru mencatat kerugian signifikan akibat lonjakan berbagai beban operasional, mulai dari bahan bakar hingga penyusutan dan gaji.
Pada Q1 2025 aset CBRE naik menjadi Rp 340 miliar dari sebelumnya Rp 333 miliar dengan kas sebesar Rp 5,3 miliar, piutang usaha CBRE sebesar Rp 9,2 miliar dengan Rp 8,1 miliar jatuh tempo dan 1,1 miliar belum jatuh tempo. Sehingga terdapat potensi gagal bayar piutang.
Pada sisi liabilitas, pada Q1 2025 liabilitas jangka pendek CBRE sebesar Rp 101 miliar dan liabilitas jangka panjang sebesar Rp 120 miliar. Dengan hutang buruk sebesar Rp 129 miliar.
Hingga kuartal I 2025, CBRE masih mencatat defisit saldo laba sebesar Rp 54,4 miliar. Dengan total ekuitas Rp 118,4 miliar, DER perusahaan tercatat cukup tinggi, yakni 109,6%.
Kondisi ini mencerminkan neraca yang kurang sehat, dengan tekanan dari akumulasi kerugian dan struktur permodalan yang berisiko. DER yang tinggi juga meningkatkan potensi gagal bayar.
Hal yang membuat harga saham CBRE “bangun dari tidurnya” adalah adanya rencana Right Issue ini, dimana CBRE berencana melakukan aksi korporasi yaitu PMHMETD dengan menerbitkan sebanyak-banyaknya 68 miliar lembar saham baru dengan nilai mencapai Rp 1,7 triliun. Bayangkan saja, nilai Right Issuenya 1,7 Trilliun dibandingkan total asetnya yang “hanya” 350 Milyar Rupiah “saja”. Tentu saja ini akan membuat market “mengangkat” harga sahamnya.
Rencananya dana hasil aksi korporasi tersebut akan digunakan untuk penambahan armada oleh perusahaan.
Jika diambil contoh, dengan harga kapal mother vessel seharga USD 17,5 juta, maka dana hasil aksi korporasi tersebut dapat untuk membeli 6 unit kapal mother vessel dan masih terdapat sisa modal sebesar kurang lebih Rp 85 miliar. Selain itu, jika aksi korporasi ini berhasil di jalankan, maka CBRE juga akan mendapatkan tambahan kas dan juga kenaikan ekuitas yang cukup signifikan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah nanti setelah Right Issue ini kinerja CBRE akan membaik, akan lebih efisien dan laba bersihnya mampu bangkit? Atau tetap sama saja dimana kenaikan revenue tidak membuat laba bersihnya naik? Bagaimana menurutmu?
###
Dapatkan akses eksklusif ke Value Investing Mastery dan The Investor’s Portfolio untuk strategi investasi terbaik, analisis saham mendalam, serta peluang meraih bagger pertama Anda!
🔹 Analisis saham premium
🔹 Template kinerja portofolio
🔹 Kelas bulanan dengan mentor ahli
Gabung sekarang di 👉 valueinvestingmastery.id dan mulai investasi dengan lebih percaya diri! 🚀
© 2025. All rights reserved
PT Indonesia Investa Origa- Tegalmulyo WB I/189B Pakuncen Wirobrajan Yogyakarta – +6285155441861